Bahasa Lidah atau Roh!
Oleh :
Fially Fallderama Sugiharto
“Kai pos Hemeis akoumen hekastos te idia
dialekto hemon en he egennethemen.”
(Bagaimana mungkin kita masing-masing
mendengar mereka berkata-kata dalam bahasa kita sendiri, yaitu bahasa yang kita
pakai di negeri asal kita:)
Kis 2: 8
“ho lalon glosse heauton oikodomei, ho de
propheteuon ekklesian oikodomei.”
(Siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh,
ia membangun dirinya sendiri, tetapi siapa yang bernubuat ia membangun
Jemaat/gereja).
1 Korintus 14: 4.
Bahasa lidah selalu menjadi momok pembicaraan
di tengah-tengah kalangan umat. Hal ini dikarenakan mulai munculnya
gereja-gereja yang menekankan pentingya berbahasa lidah.[1]
Bagi sebagian kalangan gereja ini, berbahasa lidah merupakan sebuah bukti bagi
seseorang bahwa ia telah dibaptis dalam Roh Kudus. Jadi, jika kita tidak
berbahasa lidah berarti kita tidak dibaptis oleh Roh Kudus. Tentu pernyataan
seperti ini menimbulkan pertanyaan dalam benak umat tentang berbahasa lidah,
pernyataan itu secara tidak langsung telah menimbulkan kebimbangan. Untuk
menjawab kebimbangan tersebut kita harus menelaah “bahasa lidah” dalam
penjelajahan biblis.
Dalam teks Kis 2 : 1-sek dan I
Kor 12-14 terdapat fenomena bahasa lidah. Apakah fenomena “bahasa lidah” dalam
Kis dan Kor itu sama? Tentu tidak, kita harus mengingat konteks Kis dan Kor
berbeda. Teks Kis merupakan kelanjutan dari Injil Lukas, kedua teks tersebut
berbicara keselamatan yang universal dan pembebasan bagi orang-orang yang
termarjinalkan.[2] Selain
itu, tujuan penulisan teks Kis adalah untuk memikat hati pembaca, menarik
perhatian, menyolok mata, dan membuat terpukau dengan perbuatan-perbuatan para
rasul dan kehidupan jemaat saat itu. Ditambah lagi suasana pada saat itu adalah
perayaan hari pentakosta, umumnya mereka mudik
atau pulang kampung ke kota Yerusalem.[3]
Jadi ketika para rasul berbicara atau berkotbah, mereka berbicara dalam bahasa
asli (native tongue) Ibrani, hal
tersebut di dengar oleh para pemudik dan
para pemudik menanggapi pembicaraan
dalam bahasa asli tersebut dengan bahasa asing (foreign tongues).[4]
Kita lihat Kis. 2: 8 “Kai pos Hemeis
akoumen hekastos te idia dialekto hemon en he egennethemen.” Te idia dialekto adalah
bahasa asli kita. Jadi, setiap orang dapat mendengar dalam bahasanya
masing-masing Kis 2: 11, “ioudaioi te kai
proselutoi kretes kai arabes akoumen lalounton auton tais hemetarais glossais
ta megaleia tou Theou.[5]
Hal ini merupakan karunia mendengarkan dari Roh Kudus.
Sedangkan dalam konteks I
Korintus 12-14 berbeda dengan Kis 2, jemaat Korintus merupakan jemaat yang
menyebalkan bagi Paulus.[6]
Jemaat Korintus merupakan jemaat yang bebal (dodol) atau bermoralitas rendah, orientasi kehidupan mereka
hanyalah berfoya-foya, seperti kotbah Bambang Subandrijo Senin lalu, “ayo kita berKorintus!” Sepertinya jemaat
Korintus terpengaruh kembali dengan gaya hidup beriman pada agama sebelumnya
yakni estatik atau ekstase. Salah satu hal ekstase yang disukai oleh jemaat
Korintus adalah “berbahasa Roh” (mungkin mereka seperti berorgasme).[7]
Untuk menanggapi permasalahan semacam ini Paulus segera membuat daftar
karunia-karunia Roh, dan bagi Paulus glossolalia
merupakan karunia Roh yang paling rendah. Karena tidak berdampak kepada
kehidupan umat secara komunal, glossolalia
hanya untuk kepuasan individual. Bahasa roh dalam konteks Kor berbeda
dengan bahasa lidah dalam konteks Kis, dalam konteks Kis bahasa tersebut dapat
di dengar dan dimengerti, sedangkan dalam konteks Korintus tidak dapat
dimengerti dan tidak berguna bagi kehidupan komunal. Selain itu, dalam konteks
Kis bahasa lidah menyatakan kehadiran Roh Kudus, sedangkan dalam Konteks
Korintus bahasa Roh tidak menghadirkan Roh Kudus. Glossolalia dalam perspektif Paulus adalah bahasa yang bukan
berasal dari dunia. Karena, Paulus juga pernah merasakan ekstase, ketika ia
mendapat theophanie Kristus dan ia
merasakan naik ke tingkat 3 surga atau langit. Bagi Paulus glossolalia adalah untuk orang-orang tidak percaya, bukan bagi
orang-orang percaya[8] à
berarti ia menyatakan adanya pekerjaan Roh Kudus bagi orang-orang tidak
percaya.
[1] J. Rodmans Williams, Should We All Speak in Tongues. ( : Atla Serial, ),
1
[2] C. Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian Baru. (Yogyakarta: Kanisius, 1995),
180
[3] Rasid Rahman, Hari Raya Liturgi. (Jakarta: BPK-GM, 2009), 18
[4] Bastian van Elderen, Glossolalia in the New Testament. 54
[5] Abraham Kuyper, The Work of Holy Spirit. (Grand Rapids, MI: B. Eerdmans Publishing
House, 1946), 135-136
[6] C.
Croenen, Op. Cit, 228
[7] Bastian van Elderen, Op. Cit, 55
[8] Ibid., 57
Tidak ada komentar:
Posting Komentar