Senin, 08 September 2014

Bahasa Lidah atau Bahasa Roh.

Bahasa Lidah atau Roh!
Oleh : Fially Fallderama Sugiharto

“Kai pos Hemeis akoumen hekastos te idia dialekto hemon en he egennethemen.”
(Bagaimana mungkin kita masing-masing mendengar mereka berkata-kata dalam bahasa kita sendiri, yaitu bahasa yang kita pakai di negeri asal kita:)
Kis 2: 8
“ho lalon glosse heauton oikodomei, ho de propheteuon ekklesian oikodomei.”
(Siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, ia membangun dirinya sendiri, tetapi siapa yang bernubuat ia membangun Jemaat/gereja).
1 Korintus 14: 4.
Bahasa lidah selalu menjadi momok pembicaraan di tengah-tengah kalangan umat. Hal ini dikarenakan mulai munculnya gereja-gereja yang menekankan pentingya berbahasa lidah.[1] Bagi sebagian kalangan gereja ini, berbahasa lidah merupakan sebuah bukti bagi seseorang bahwa ia telah dibaptis dalam Roh Kudus. Jadi, jika kita tidak berbahasa lidah berarti kita tidak dibaptis oleh Roh Kudus. Tentu pernyataan seperti ini menimbulkan pertanyaan dalam benak umat tentang berbahasa lidah, pernyataan itu secara tidak langsung telah menimbulkan kebimbangan. Untuk menjawab kebimbangan tersebut kita harus menelaah “bahasa lidah” dalam penjelajahan biblis.
Dalam teks Kis 2 : 1-sek dan I Kor 12-14 terdapat fenomena bahasa lidah. Apakah fenomena “bahasa lidah” dalam Kis dan Kor itu sama? Tentu tidak, kita harus mengingat konteks Kis dan Kor berbeda. Teks Kis merupakan kelanjutan dari Injil Lukas, kedua teks tersebut berbicara keselamatan yang universal dan pembebasan bagi orang-orang yang termarjinalkan.[2] Selain itu, tujuan penulisan teks Kis adalah untuk memikat hati pembaca, menarik perhatian, menyolok mata, dan membuat terpukau dengan perbuatan-perbuatan para rasul dan kehidupan jemaat saat itu. Ditambah lagi suasana pada saat itu adalah perayaan hari pentakosta, umumnya mereka mudik atau pulang kampung ke kota Yerusalem.[3] Jadi ketika para rasul berbicara atau berkotbah, mereka berbicara dalam bahasa asli (native tongue) Ibrani, hal tersebut di dengar oleh para pemudik dan para pemudik menanggapi pembicaraan dalam bahasa asli tersebut dengan bahasa asing (foreign tongues).[4] Kita lihat Kis. 2: 8 “Kai pos Hemeis akoumen hekastos te idia dialekto hemon en he egennethemen.” Te idia dialekto adalah bahasa asli kita. Jadi, setiap orang dapat mendengar dalam bahasanya masing-masing Kis 2: 11, “ioudaioi te kai proselutoi kretes kai arabes akoumen lalounton auton tais hemetarais glossais ta megaleia tou Theou.[5] Hal ini merupakan karunia mendengarkan dari Roh Kudus.
Sedangkan dalam konteks I Korintus 12-14 berbeda dengan Kis 2, jemaat Korintus merupakan jemaat yang menyebalkan bagi Paulus.[6] Jemaat Korintus merupakan jemaat yang bebal (dodol) atau bermoralitas rendah, orientasi kehidupan mereka hanyalah berfoya-foya, seperti kotbah Bambang Subandrijo Senin lalu, “ayo kita berKorintus!” Sepertinya jemaat Korintus terpengaruh kembali dengan gaya hidup beriman pada agama sebelumnya yakni estatik atau ekstase. Salah satu hal ekstase yang disukai oleh jemaat Korintus adalah “berbahasa Roh” (mungkin mereka seperti berorgasme).[7] Untuk menanggapi permasalahan semacam ini Paulus segera membuat daftar karunia-karunia Roh, dan bagi Paulus glossolalia merupakan karunia Roh yang paling rendah. Karena tidak berdampak kepada kehidupan umat secara komunal, glossolalia hanya untuk kepuasan individual. Bahasa roh dalam konteks Kor berbeda dengan bahasa lidah dalam konteks Kis, dalam konteks Kis bahasa tersebut dapat di dengar dan dimengerti, sedangkan dalam konteks Korintus tidak dapat dimengerti dan tidak berguna bagi kehidupan komunal. Selain itu, dalam konteks Kis bahasa lidah menyatakan kehadiran Roh Kudus, sedangkan dalam Konteks Korintus bahasa Roh tidak menghadirkan Roh Kudus. Glossolalia dalam perspektif Paulus adalah bahasa yang bukan berasal dari dunia. Karena, Paulus juga pernah merasakan ekstase, ketika ia mendapat theophanie Kristus dan ia merasakan naik ke tingkat 3 surga atau langit. Bagi Paulus glossolalia adalah untuk orang-orang tidak percaya, bukan bagi orang-orang percaya[8] à berarti ia menyatakan adanya pekerjaan Roh Kudus bagi orang-orang tidak percaya.




[1] J. Rodmans Williams, Should We All Speak in Tongues. (      : Atla Serial,          ), 1
[2] C. Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian Baru. (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 180
[3] Rasid Rahman, Hari Raya Liturgi. (Jakarta: BPK-GM, 2009), 18
[4] Bastian van Elderen, Glossolalia in the New Testament. 54
[5] Abraham Kuyper, The Work of Holy Spirit. (Grand Rapids, MI: B. Eerdmans Publishing House, 1946), 135-136
[6]  C. Croenen, Op. Cit, 228
[7] Bastian van Elderen, Op. Cit, 55
[8] Ibid., 57

Tidak ada komentar:

Posting Komentar